Rabu, 13 Agustus 2014

Cerpen Remaja Mimpiku Bukan Sekedar Ilusi

Edit Posted by with No comments


Mimpiku Bukan Sekedar Ilusi…

          Sang matahari tampak malu-malu membuka cadarnya. Embun tadi malam masih terlihat dibeberapa kuntum bunga yang kini telah mekar. Kupu-kupu dengan beraneka warna berterbangan disisinya.
          Disebuah halte nampak beberapa orang berdiri menunggu bus. Di jalan-jalan sekitarnya tampak mobil-mobil besar melintas. Adapula, beberapa motor yang mencoba menyalip mobil di depannya. Pemandangan ini tak asing lagi bagiku. Inilah kota metropolitan tempat tinggalku. Tempat Aku lahir dan dibesarkan. Dan tempat ini juga mengenal berbagai permasalahan. Kota ini bagiku sudah tak seperti yang dulu lagi. Dulu Aku bisa bermain sepuasnya dengan teman-temanku, berenang disungai yang jernih, dan berlari-lari mengejar layangan yang putus di lapangan. Tapi, kini sungai itu tak jernih lagi penuh sampah bak tempat pembuangan.
          Di dalam hiruk pikuk kehidupan kota ku kayuh sepeda miniku yang telah bobrok dengan penuh semangat. Sebuah semangat untuk menuntut ilmu yang akan berguna dimasa depanku. Saatku duduk termenung, tiba-tiba kawanku menghampiriku
“ Cha, kamu dipanggil Bu Rina. Kamu disuruh menemuinya di kantor”
“ makasih Sar atas infonya” ucapku seraya bergegas pergi
      Dalam hati Aku merasa gelisah, Aku tak tahu mengapa Aku dipanggil. Sesampainya di kantor, ku lihat Bu Rina sedang asyik membuka dokumen
Tok! Tok! Tok!
“ assalamu’alaikum”
“ wa’alaikumusalam. Eh, Chaca silakan masuk! Ibu mau bicara sama kamu!”
Aku segera menuruti perintahnya untuk duduk
“ Chaca, sebenarnya ibu memanggilmu untuk memberitahumu tentang hal ini, tapi ibu harus mengatakannya”
“ tak apa-apa kok, bu. Silahkan ibu mau bicara tentang hal apa?”
Bu Rina mendesak, “ Chaca, kamu belum membayar SPP selama lima bulan dan kini kamu berancam dikeluarkan dari sekolah. Oleh sebab itu, ibu mohon untuk melunasinya dengan segera!”
        Ku terkejut bukan main seperti ada petir yang menyambarku dengan dahsyatnya.
“ mengapa semua jadi begini? Apa salahku? Aku sadar Aku telah salah, tapi kenapa harus serumit ini?” gumamku dalam hati.
          Ku segera meninggalkan meja Bu Rina dengan perasaan galau. Selama pelajaran berlangsung sampai pelajaran berakhir. Kata-kata itu masih terngiang ditelingaku.
          Sesampainya di rumah ku lihat adik-adikku menangis kelaparan. Ku lihat bakul sudah kosong. Dalam keadaan bingung, tiba-tiba ku teringat uang saku yang diberikan Bapak tadi pagi masih ada. Ku segera berlari menuju warung dan ku beli nasi dua bungkus. Setelah ku bayar ku segera kembali ke rumah. Baru ku injakkan kakiku di depan pintu adik-adikku segera menyerbuku. Nasi bungkus yang tadi ku pegang segera ku berikan kepada kedua adikku. Ku lihat mereka melahap nasi itu dengan lahapnya. Dalam hatiku merasa bahagia melihat adik-adikku tak kelaparan, tapi Aku juga merasakan sedih yang teramat sangat mengingat kejadian di sekolah tadi.
          Keesokan harinya, ku putuskan untuk tidak masuk sekolah. Aku membantu ibu dirumah, mencuci pakaian, dan menyetrika. Kemudian ku antarkan pakaian-pakaian itu ke beberapa rumah. Beberapa kompleks rumahku.
          Siangnya………
“ Aqua, aqua, tissue, tissue bu!” ucapku menyapa orang yang lewat namun dia hanya menggeleng. Akupun pergi.
“ hei, ngapain kamu disini?” kata seorang anak seraya mendorongku
  pergi kamu! Kirain kamu tempat ini milik siapa? Ini tempat kekuasaan kami” kata seorang anak berbadan besar, Aku terdiam, Aku tidak ingin mencari gara-gara dengan mereka. Aku tahu mereka anak berandalan, yang hanya ingin menang sendiri. Ku berjalan terus menyusuri trotoar.
Dalam hati, “ mengapa sulit banget? Apakah ini cobaan untukku?” ku ucap begitu sampai tak terasa air mata bergulir dipipiku. Tak berapa lama Aku putuskan untuk pergi.
ฐสฐ
          Sudah tak terasa satu minggu. Aku tidak masuk ke sekolah. Suatu senja saat ku baru ttiba di rumah, ibu memeluk diriku dengan erat, dengan penuh kasih sayang.
“ selamat ya nak!” ucap ibuku
“ maksud ibu apa?” tanyaku heran
Ibu segera melepas dekapannya. Lalu, ibu mengajakku masuk dan duduk. Setelah itu, ibu berkata, “ nak, mulai besok kamu bisa masuk sekolah lagi”
“ tapi bu, bukankah kita belum melunasi uang SPP-nya?”
Ibu tersenyum seraya membelai rambutku
“ sayang, tadi Bu Rina datang kemari. Beliau memberitahu ibu, bahwa mulai besok kamu diperbolehkan lagi masuk sekolah”
“ haaah, Bu Rina bilang begitu, bu?”
“ iya, sayang. Bu Rina bilang SPP mu sudah dilunasi oleh seseorang”
“ seseorang? Siapa dia bu?”
“ dia malaikatmu. Setiap kau memiliki kesulitan, dia selalu membantumu”
“ maksud ibu, malaikat itu siapa?”
“ sahabatmu. Sahabat sejatimu”
“ Sari, kaukah? Bila benar kamu Aku ucapkan terima kasih. Semoga kebaikanmu diterima oleh Allah”
          Aku mendekap ibu dengan erat, tak terasa air mata ini bergulir

Beberapa tahun kemudian…

          Ku buka buku-buku pelajaran tadi dan ku baca kembali. Setelah kurasa cukup, ku buka catatanku dan ku pun mulai melantun.
Ku gores tinta hitam ini
Di sebuah kertas putih
Ku tulis sebuah syair
Tuk mengukir kisah yang lalu
Kenangan yang tidak bisa di ulangi lagi
Kesedihan, kebahagiaan…
Takkan pernah hilang ditelan waktu…
Lantunan ini ku bawa dalam mimpiku, mimpi yang begitu indah hingga tak terasa pagi telah datang.
Tok! Tok! Tok
“ Cha, bangun! Udah siang ini. Apa kamu nggak kuliah?”
          Aku tersentak mendengar suara ibu di depan pintu kamarku.
“ Astaghfirullah hal’azim! Ya Allah, Aku kesiangan” gumamku
“ ya, bu. Aku udah bangun”
“ ya, udah. Cepetan nanti kamu telat!”
“ ya, bu”
          Ku segera beranjak bangun dari tempat tidurku dan segera bergegas untuk mandi. Setelah siap, Aku bergegas pergi. Sesampainya di kampus, Aku segera masuk kelas. Tak lama kemudian, bel tanda masuk berbunyi. Mata pelajaran pertama pun dimulai.
          Jam 09.00 pelajaran berakhir, Aku dan Sari bergegas pergi, ada sesuatu yang harus kami selesaikan. Ditengah perjalanan.
“ Cha, Aku mau beli minuman dulu, ya! Kamu jalan duluan!”
“ ok deh!” Aku terus berjalan, ketika Aku sedang menyebrang tiba-tiba,
“ awas, Cha!” teriak Sari, Aku menoleh dan kulihat sebuah mobil melaju dengan kecepatan tinggi datang kearahku,
“ aaaaahhh”
Sari berlari ke arahku seraya mendorongku.
Bukkk!
Aku terjatuh dan kepalaku membentur badan trotoar. Tiba-tiba pandangan di sekitarku tampak gelap dan Aku pun tidak ingat lagi apa yang terjadi. Saat ku siuman ku lihat sebuah ruang berdinding putih bersih. Ku lihat ibu duduk disampingku, ia tersenyum padaku.
“ kamu sudah sadar, sayang?”
“ ibu, Aku ada dimana?”
“ kamu di rumah sakit, sayang. Kamu sudah tiga hari tak sadarkan diri”
“ hah, memang apa yang terjadi padaku, bu?”
“ kamu pingsan setelah keningmu membentur badan trotoar” ucap ibu seraya mengelus rambutku dengan penuh kasih sayang,
“ ibu!” ibu menoleh
“ Sari dimana, bu? Kok nggak kelihatan?”
          Ibu terdiam, terlibat dimatanya ada sebuah cahaya kesedihan yang teramat mendalam.
“ bu, jawab! Ada apa dengan Sari, bu?” pintaku
“ Sari, Sari……..” ibu menangis
“ nggak mungkin! Nggak mungkin dia meninggal. Dia udah janji bakal nemenin Aku sampai kita berdua mengenakan gaun pengantin” jawabku dengan perasaan kalut. Tiba-tiba Aku meraung sejatinya. Aku tak bisa lagi membendung air mata ini.
ฐสฐ
          Esok harinya, Aku pulang ke rumah. Ketika tiba di rumah. Ku rasakan sesuatu yang hilang. Ya, Sari tak ada disana, tidak menantiku, tidak menyambutku.
“ sayang, kita makan dulu yuk! Nanti obatnya diminum biar kamu cepet sembuh!” kata ibu mengagetkan lamunanku.
          Aku pergi menuruti kata-kata ibu. Selama satu minggu Aku tidak datang ke kampus. Aku masih belum sanggup untuk melihat tempat yang banyak kenangan tentangku dengan Sari. Aku masih tidak sanggup.
ฐสฐ
          Suatu hari, ketika Aku sedang duduk di beranda rumah. Ibu datang menghampiriku.
“ sayang, apa kamu nggak mau kuliah lagi?”
“ Aku belum sanggup, bu. Banyak kenangan di kampus itu”
“ sayang, Sari hanyalah sebutir pasir digurun. Satu dari berjuta-juta umat manusia. Seperti halnya manusia lain, ia pun mengalami lahir, dewasa, tua, lalu mati. Mungkin ini sudah suratan takdirnya. Ia harus merelakan hidupnya demi menyelamatkan nyawamu. Harusnya kamu bersyukur. Janganlah kau merasa terpuruk seperti ini”
          Aku merasa kedamian dari kata-kata ibu. Dan mulai saat ini Aku akan terus berusaha untuk meraih cita-citaku kerana mimpiku bukan sekedar ilusi…….
Mega di senja ini begitu indah
Memancarkan sinarnya di lautan biru
Lautan yang begitu bening
Sebening lantai keratin Indrapa Hasta
Di sekelilingi panorama yang sungguh indah
Laksana taman Sriwedari di Maespati
Mungkin di surga kau bahagia
Kau bagai putri di sebuah keraton
Dengan gaun yang berkilapan
Watanshi no yujin sayonara
And
Watanshi no tenshi arigatozaimasu

0 komentar:

Posting Komentar